“Tapi aku ingin sekali menemui mereka dan tinggal
bersama mereka disini” pintanya.
“Itu juga tak mungkin. Sang Ratu telah menerapkan
peraturan di kampung ini bahwa setiap anak yang dilahirkan oleh para wanita
dari perkawinannnya dengan orang asing harus dipelihara oleh orang-orangnya
Sang Ratu ditempat yang sudah disediakan untuk penampungan itu. Mereka hidup
bahagia disana berkumpul bersama-sama teman-temannya yang lain dan memperoleh
pengetahuan tentang adat istiadat dan peraturan yang diterapkan Sang Ratu serta
pengetahuan dalam hal perawatan tubuh yang baik dari orang-orangnya Sang Ratu”
Penjelasan yang disampaikan Ranti itu sebenarnya sudah
pernah didengar Sahrul dari mulut Ratih, namun karena dalam penyampaiannya
Ratih seakan tidak serius dan terkesan asal jawab hanya untuk mengejar bonus
pelayanan yang diberikan Sahrul maka lama-lama Sahrul kurang yakin akan jawaban
itu. Tidak ingin menjadi beban pikiran bagi Ranti yang akhirnya berbuntut pada
pengaduannya kepada Sang Ratu, akhirnya Sahrul kembali bersikap biasa-biasa
saja. Palig tidak dia sudah mengetahui kalau jawaban dan informasi yang disampaikan
Ratih selama ini adalah akurat dan tidak salah. Sehingga untuk selanjutnya
cukup melalui Ratih saja dia memperoleh keterangan dalam bentuk apapun. Cukup
dengan memberikan bonus berupa pelayanan ekstra, dia sudah bisa mengetahui apa
yang ingin diketahuinya.
Hari-hari berlalu, tanpa terasa karena kelakuan Sahrul
tidak lagi membahayakan akan kelangsungan hidup mereka di kampung Lubuk Lungun
itu, maka Sang Ratu mengeluarkan keputusan untuk tidak lagi memberkati Sahrul
menjadi warga tetap kampung itu. Bukan hanya tingkah laku Sahrul yang dianggap
memenuhi syarat untuk tinggal dikampung itu tanpa diberkati menjadi warga
tetap, namun keputusan Sang Ratu tersebut diambil juga atas pertimbangan Mayang
dan Ratih yang sebenarnya sangat keberatan kalau Sahrul dinobatkan sebagai
warga tetap kampung itu dan suami Ranti yang abadi. Keberatan mereka itu
didasarkan pada kepentingan mereka untuk bisa memperoleh kenikmatan hidup yang
diperolehnya dari Sahrul. Sementara keberatan kedua wanita cantik itu yang
diterima Sang Ratu juga sejalan dengan perasaan hati Sang Ratu yang merasa
sangat sayang kalau harus mengeluarkan keputusan itu karena secara otomatis dia
juga tidak akan dapat memperoleh kenikmatan hidup dari Sahrul. Bukan karena
dilarang sebagaimana yang berlaku pada Ratih dan Mayang saja, tetap karena
dalam waktu dekat Sahrul akan kehilangan keperkasaannya sehingga jangankan
untuk turut melayani Sang Ratu, melayani istrinya saja akan sangat sulit bagi Sahrul
secara memuaskan.
Sebagaimana para lelaki asing lain yang sudah
diberkati oleh Sang Ratu karena permintaan istrinya masing-masing, sama sekali
mereka tidak mempunyai kemampuan lagi melayani kebutuhan seks istrinya yang
semakin menggelora. Terpaksa istri-istri yang tidak lagi memperoleh
kenikmatan dari suaminya itu itu harus
direlakan untuk memperoleh kenikmatan dari para lelaki asing lain yang belum
diberkati dan masih memiliki kemampuan seks yang tinggi. Satu hal yang aneh dan
berlaku di kampung itu adalah bahwa setiap wanita memiliki kemampuan membuat
ramuan mujarab untuk menambah keperkasaan lelaki. Tapi begitu ramuan mujarab
tersebut diberikannya kepada suaminya yang sah maka kemanjuran ramuan mujarab
itu tak akan lagi mujarab sebagaimana yang diharapkan.
Keputusan Sang Ratu untuk membatalkan pemberkatan
kepada Sahrul disambut dengan bahagia oleh Mayang dan dengan wajah ceria pula
disampaikannya keputusan itu kepada Ranti, Bandri dan Ratih yang pagi itu sudah
menunggu mereka diruang tamu kediaman Mayang.
“Dengan demikian kehidupan kita akan berjalan
sebagaimana biasanya dimana Sahrul masih memiliki hak untuk melakukan pengabdian
kepada Sang Ratu dan aku. Begitu juga Ratih masih berhak untuk memperoleh
kenikmatan yang diberikan Sahrul dalam pelayanan seksnya” jelas Mayang. Rona
ceria terlihat di wajah Ratih yang memang sangat mengharapkan keputusan untuk
pembatalan pemberkatan menantunyaitu.
“Kita akan biasa-biasa saja dan tidak perlu
menampaikannya kepada Sahrul” tutup Mayang dalam memberikan penjelasannya itu.
“Terimakasih, Puteri” jawab ketiga orang penghadap itu
akhirnya dengan menunduk memohon diri dengan beringsut mundur dalam jongkoknya.
“Ibu dan ayah pulang saja dulu. Biar aku yang menunggu
Bang Sahrul utuk pulang bersama” kata Ranti sesampainya mereka diluar kediaman
Puteri Mayang.
“Baiklah, Ranti. Biar ayah dan ibumu pulang dulu. Kamu
segera pulang setelah Sahrul usai melakukan pengabdiannya kepada Sang Ratu dan
Puteri Mayang, ya?”
“Terimakasih, Ayah”
Kedua suami istri itu dengan rona ceria meninggalkan
kediaman Mayang. Sementara Ranti menunggu selesainya suaminya melaksanakan
tugasnya memberikan pengabdian kepada kedua wanita cantik di istana itu.
Jenuh menunggu hanya duduk-duduk saja, Ranti mencoba
untuk berjalan-jalan disekitar pekarangan kediaman Mayang. Tengah mondar mandir
itu, secara tak sengaja ketika hendak mengunjungi peraduan Sang Ratu untuk
menjempit Sahrul yang telah selesai mengabdi kepada Sang Ratu, Mayang melihat
Ranti masih juga berada dilingkungan istananya. Diluangkannya waktu untuk
mendekati Ranti. Mana tahu ada hal lain yang ingin ditanyakan Ranti kepadanya.
“Ada apa, Ranti? Kenapa masih disini? Apakah masih ada
yang ingin kau sampaikan?”
“Ngh... maaf tuan Puteri, perkenankan hamba menunggu
suami hamba selesai melakukan pengabdiannya disini” jawab Ranti sembari
menunduk.
“Oh.. silakan. Tapi sebaiknya kau menunggunya diruang
tunggu depan istana saja. Karena nanti pengawal akan menanyaimu yang dilihatnya
mondar mandir tanpa tujuan” jawab Mayang menyilakan Ranti untuk menunggu
suaminya itu diruang tunggu depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar