“Apa yang akan aku sampaikan kepada orang itu
seandainya dia bertanya padaku, ya?” pikir hatinya. Namun terus saja dilaluinya
jalan itu lambat laun dikenalinya orang yang sedang menyiangi rumput disawahnya
itu. Rupanya Bapak itu adalah Pak Ilyas pemilik sawah yang dilaluinya itu. Dilihat
dari perawakan dan raut wajah Pak Ilyas tidak tampak penuaan. Bahkan orang tua
itu masih seperti dulu juga. Tegar.
Tampak Pak Ilyas berhenti menyiangi sawahnya ketika
Sahrul hendak lewat di depannya. Dengan dada berdebar Sahrul melewati jalan
itu.
“Permisi, Pak Ilyas” sapanya berusaha senyum seramah
mungkin. Dia ragu kalau Pak Ilyas itu masih ingat padanya yang sudah puluhan
tahun meninggalkan kampung itu.
“Memang kalau penganten baru itu mandinya selalu lama.
Apa merasa masih kurang bersih, ya?” goda Pak Ilyas.
“Ah.. Bapak ini bisa saja” jawab Sahrul yang tersipu
mendengar sindiran orang kampungnya itu. Entah apa maksud Pak Ilyas menyebut
dirinya penganten baru itu. Dengan senyum yang dibuatnya seramah mungkin
ditinggalkannya Pak Ilyas yang kembali melanjutkan pekerjaannya. Aneh memang,
ternyata orang tua itu masih juga tegar. Padahal sudah puuhan tahun dia
meninggakan kampung itu, tapi Pak Ilyas masih juga ingat pada dia.
“Atau jangan-jangan Pak Ilyas itu salah orang. Masa aku
dipanggilnya penganten baru. Sama seperti dulu aku pergi mandi dia juga
menggodaku yang waktu itu memang masih penganten baru” pikirnya.
Memang bisa jadi Pak Ilyas yang sudah tua itu salah dalam
memandang orang tapi rasa-rasanya, tegur sapa dan godaan yang dilontarkannya
tadi sama saja dengan apa yang disampaikannya pada Sahrul puluhan tahun lalu
ketika Sahrul akan mandi ke sungai itu.
Tak lama memikirkan sapaan Pak Ilyas tadi, kembali
Sahrul memikirkan bagaimana nasib istrinya kini. Apakah dia masih hidup dan
tinggal dikampung itu? Atau apakah dia sudah menikah lagi dan dibawa pergi oleh
suaminya merantau ke tempat lain.
“Kenapa aku tak bertanya pada Pak Ilyas tadi, ya? Tentu
dia tahu dimana saat ini Siti berada. Apakah masih dikampung ini atau tidak?”
sesalnya. Padahal kalau tadi dia bertanya kepada Pak Ilyas tentu orang tua itu
tahu khabar dan keberadaan istrinya saat ini.
Memasuki jalan lintas di kampung itu, hati Sahrul
semakin berdebar saja. Betapa tidak lambat laun dia kembali ingat dengan jalan
yang saat ini dilewatinya. Ternyata jalan ini masih sama seperti dahulu ketika
dia melewatinya. Tidak satu perubahanpun yang terjadi. Namun hatinya tetap
yakin telah terjadi sesuatu di kampung itu yang membuat tidak banyaknya
perubahan yang terjadi. Alangkah berdosanya dia meninggalkan kampung Lubuk
Pisang begitu saja selama puluhan tahun. Tanpa khabar berita kepada istrinya
dan keluarganya. Sahrul yang selama ini telah merantau sebenarnya masih merasa
beruntung karena baru-baru ini saja ingatannya pulih akan keberadaan kampung
halaman dan keluarga yang dimilikinya. Kalau saja dia tidak ingat akan masa
lalunya tentu dia tidak akan sampai di kampung ini.
“Syukurlah. Istriku Ranti mau mengerti dan melepas
kepergianku ke kampung ini kalau tidak, entah bagaimana aku akan mengetahui khabar
tentang kampung ini dan istriku disini. Entah dia masih hidup dikampung ini
atau sudah dibawa oleh suaminya pindah keluar kampung. Entahlah. Yang jelas
begitu aku bisa mencari keluargaku, akan aku bawa Ranti kesini dan
memperkenalkannya dengan keluargaku disini” pikirnya.
Tak jauh dari jalan lintas kampung itu kembali hati
Sahrul berdetak kencang. Betapa tidak, rumah mereka yang merupakan pemberian
mertuanya kepada Siti sewaktu mereka baru saja menikah dahulu ternyata masih
seperti dahulu. Tidak satupun yang berubah dari rumah itu. Lambat laun Sahrul
ingat akan kondisi rumah itu ketika ditinggalkannya dulu. Memang benar kalau
atap rumah itu dahulu sudah mulai dimakan karat. Sehingga untuk mempercantik
penampilan rumah itu, mertua Sahrul menyuruh orang lain untuk mengecatnya
sebelum Sahrul menjadi menantu dirumah itu. Tapi sekarang rumah itu masih dalam
keadaan seperti sediakala. Tidak satupun perubahan yang terlihat dirumah itu.
“Ternyata Siti masih menjaganya seperti dahulu.
Siapakan sebenarnya suami Siti sekarang yang mau merawat rumah itu seperti
dahulu juga?” pikirnya lagi penuh tanda tanya.
Dengan hati penuh debaran tak menentu Sahrul
memberanikan diri untuk masuk kedalam pekarangan rumah itu. Disapunya seluruh
sudut rumah itu dengan matanya yang liar. Tidak nampak Siti atau siapapun
penghuni rumah itu di luar rumah. Namun pintu masuk samping rumah masih
terbuka. Kembali Sahrul melangkahkan kakinya untuk mendekati pintu itu.
Perlahan diketuknya pintu samping itu sambil menunggu reaksi dari pemilik
rumah. Diulanginya beberapa kali tidak ada jawaban. Namun dari balik kain
jendela nampak berkelebat sebayangan tubuh wanita muda yang nampaknya akan
segera berjalan kearah pintu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar